Oleh : ABDUL BASID A TUDA | Pemuda Popayato
Indopost.news – Opini. Popayato, sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam di ujung barat Gorontalo, telah lama menjadi sorotan karena aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang semakin merajalela.
Ironisnya, meski aktivitas ilegal ini telah berlangsung bertahun-tahun, upaya penindakan dari aparat penegak hukum khususnya Polres Pohuwato seolah hanya sebatas formalitas. Masyarakat pun mulai bertanya-tanya: ada apa sebenarnya di balik pembiaran ini?
Bukan rahasia lagi bahwa PETI di Popayato bukan hanya melibatkan masyarakat lokal, tetapi juga diduga dibeking oleh oknum-oknum berkekuatan besar. Puluhan Alat berat bekerja siang malam, hasil tambang keluar tanpa kendala, dan aparat seolah menutup mata.
Di tengah ketidakberdayaan itu, nama Kepala Kepolisian Resort Pohuwato, AKBP H. Busroni,S.I.K.,M.H seorang yang diharapkan bisa menjadi garda terdepan untuk menghentikan aktivitas tersebut justru sepi dari tindakan konkret.
Muncul Pertanyaan: Mungkinkah AKBP H. Busroni,S.I.K.,M.H telah tergerus oleh sistem yang mengharuskan beliau untuk menutup mata?
Tak bisa dipungkiri lagi bahwa dalam birokrasi penegakan hukum, tekanan politik dan kepentingan ekonomi kerap bersinggungan. Seorang pejabat kepolisian, seberapapun tinggi pangkatnya, tetap berada dalam pusaran sistem yang bisa memaksa mereka untuk “tunduk” atau “berkompromi”.
Ketika Aparat Penegak Hukum (APH) tak lagi berani menindak karena kekuatan di balik PETI terlalu besar, maka sebenarnya kita sedang menyaksikan degradasi institusi Kepolisian secara masif dan sistemik.
Lebih menyedihkan lagi, masyarakat sekitar PETI tidak mendapatkan manfaat berarti dari eksploitasi itu. Lingkungan rusak, sungai tercemar, dan konflik horizontal pun mulai bermunculan. Sementara itu, para “pemain besar” terus mengeruk kekayaan alam tanpa hambatan.
Sudah saatnya publik mendesak transparansi dan akuntabilitas dari aparat penegak hukum. AKBP H. Busroni,S.I.K.,M.H harus menjelaskan sikapnya secara terbuka: mengapa aktivitas ilegal sebesar itu bisa dibiarkan? Jika benar sistem telah meredam keberanian penegakan hukum, maka inilah alarm bagi negara bahwa reformasi belum menyentuh akar.
Popayato bisa menjadi contoh bagaimana hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Tapi kita masih bisa berharap, jika ada keberanian, bahwa sistem bisa dilawan — bukan untuk kepentingan elite, tapi demi keadilan bagi rakyat dan alam Popayato yang terus menjerit dalam diam.