Oleh : ABDUL BASID A TUDA
Indopost.news – Opini. Kec. Popayato, Kab. Pohuwato saat ini sedang kehausan. Bukan karena kemarau panjang semata, tapi karena kerakusan yang diam-diam merampas sumber kehidupan dari tanah yang dulu subur dan damai.
Air bersih kini menjadi barang langka di Popayato. Sungai-sungai yang dahulu bening, kini keruh dan tak layak dikonsumsi karena Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Akibatnya, Ibu-ibu harus berjalan jauh, memikul jerigen demi setetes air yang layak diminum, dan Anak-anak terpaksa mandi dengan air bercampur tanah. Ini bukan sekadar cerita sedih, ini adalah kenyataan pahit yang dirasakan ribuan warga Popayato hari ini.
Ditengah derita itu, ada yang bersorak. Ada sekelompok pemuda, anak-anak asli Popayato, yang justru berdiri di barisan tambang. Mereka mendukung hadirnya tambang ilegal dan ribuan alat berat yang menancapkan kuku di perut bumi Popayato yang menggali, mengebor, mencemari, lalu pergi meninggalkan luka.
Sungguh ironis. Ketika tanah Popayato menangis, anak asli pribumi justru tepuk tangan. Ketika air mengering, mereka bicara tentang “kemajuan”, “lapangan kerja”, dan “masa depan”. Tapi masa depan yang mana?
Mari kita jujur. Siapa yang benar-benar diuntungkan oleh tambang ilegal itu? Apakah warga kecil yang terpaksa masih mengkonsumsi air keruh? Apakah petani yang lahannya hancur karena limbah dan longsor? Atau hanya segelintir orang yang duduk di kursi empuk dengan kontrak dan upeti?
Air adalah hak hidup. Ia tidak bisa dibeli kembali setelah rusak. Tidak ada uang yang bisa mengganti air yang telah tercemar. Tidak ada “pembangunan” yang pantas jika harus mengorbankan hak dasar manusia.
Para pemuda itu lupa: mereka adalah harapan. Ketika mereka diam, alam yang bicara. Ketika mereka memilih berpihak pada tambang, mereka sedang menggali lubang untuk masa depan mereka sendiri.
Popayato tidak butuh tambang yang mematikan. Popayato butuh keberanian. Butuh suara-suara muda yang lantang membela tanah kelahiran, yang berdiri melawan ketidakadilan meski sendirian.
Sekarang adalah waktunya. Pilih berdiri untuk air bersih, atau ikut dalam barisan yang menenggelamkan Popayato perlahan-lahan.
Karena. Ketika semuanya telah rusak, yang tertinggal hanyalah penyesalan semata, dan sejarah akan mencatat siapa yang memperjuangkan hak masyarakat Popayato, dan siapa yang menjualnya.