Oleh : Jhojo Rumampuk
Maraknya aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, kini bukan hanya menjadi ancaman ekologis, tapi juga menjadi ancaman terhadap kredibilitas dan kehormatan institusi penegak hukum, khususnya Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Semakin hari, bisik-bisik publik berubah menjadi gunjingan tajam yang menyebutkan bahwa aparat penegak hukum terkesan membiarkan, atau bahkan “ikut bermain” dalam gurita tambang ilegal di Bumi Panua.
Tak bisa dipungkiri, citra penegak hukum yang seharusnya menjadi pengawal keadilan dan penjaga hukum tertinggi yang kian luntur di mata masyarakat ketika eksistensi PETI justru kian menggurita.
Padahal, sudah berulang kali operasi dilakukan. Sudah banyak pernyataan keras dilontarkan. Namun faktanya, alat berat tetap keluar masuk kawasan tambang, dan penambangan tanpa izin masih berlangsung tanpa hambatan.
Lalu, di mana harga diri penegak hukum? Ketika hukum hanya tegas pada yang lemah, dan tak berkutik di hadapan yang punya kuasa, maka sesungguhnya hukum itu sedang lumpuh.
Jika aparat lebih sibuk menjaga “setoran” dari tambang ketimbang menjaga hutan dan rakyatnya, maka mereka telah menggadaikan martabat lembaga demi kepentingan pribadi.
Kondisi ini menyedihkan. Kepolisian, yang selama ini dibanggakan sebagai garda depan dalam penegakan hukum, kini mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat di Pohuwato.
Mereka dianggap tidak hanya gagal, tetapi juga membiarkan pelanggaran terjadi di depan mata mereka sendiri. Lebih parahnya lagi, jika benar ada keterlibatan oknum dalam praktik suap-menyuap, maka yang terjadi bukan hanya kegagalan institusional, tetapi kehancuran moral.
Kita tidak butuh janji penindakan yang hanya sebatas wacana. Kita butuh ketegasan yang membuktikan bahwa hukum masih bisa tegak berdiri, tidak tunduk pada kilau emas atau tekanan kekuasaan.
Sudah saatnya para penegak hukum di Gorontalo, khususnya di Pohuwato, menunjukkan bahwa mereka masih memiliki nurani, masih memegang prinsip keadilan, dan masih menyadari tanggung jawab konstitusional mereka.
Lahirnya Kelompok Yang Menamakan Dirinya “Tim Yoker”
Pohuwato kini bukan hanya menjadi wilayah rawan kerusakan lingkungan, tetapi juga panggung bagi praktik terstruktur, sistematis, dan masif dari tambang ilegal yang dijalankan oleh kelompok yang menamakan dirinya “Tim Joker.”
Keberadaan kelompok ini, berdasarkan berbagai informasi lapangan, telah mendominasi aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di empat blok besar: Balayo, Buntulia, Bulangita, dan Dengilo.
Tak main-main, kendali mereka atas jalur distribusi dan “konsolidasi setoran” telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Persentasenya hampir sempurna:
Kecamatan Patilanggio (Desa Balayo): 100%
Kecamatan Buntulia (Desa Hulawa): 80%
Kecamatan Marisa (Desa Bulangita): 15%
Kecamatan Dengilo: 80%
Data ini, meski tidak disahkan secara resmi, mengindikasikan kuat adanya sistem pengendalian tambang liar yang tak lagi sembunyi-sembunyi. Bahkan bisa dikatakan, “Tim Joker” bukan lagi sekadar kelompok bayangan, tetapi telah menjelma menjadi semacam kekuasaan informal yang mampu mengatur ritme tambang ilegal di Pohuwato.
Lantas, ke mana penegak hukum? Ke mana institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir melawan pelanggaran hukum?
Sayangnya, keberadaan kelompok ini justru menelanjangi kelemahan bahkan mungkin kelumpuhan fungsi kepolisian. Polri, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menindak PETI, justru terlihat seolah tak berdaya.
Kapolda Gorontalo pun menjadi sorotan. Muncul spekulasi liar bahwa lemahnya tindakan mungkin disebabkan faktor usia menjelang pensiun. Namun, apakah kehormatan dan integritas lembaga hukum harus ikut pensiun juga?
Ketika aparat keamanan memilih diam, masyarakat terpaksa membuat kesimpulan sendiri bahwa hukum bisa dibeli, dan kekuasaan bisa dinegosiasi. Padahal, tugas kepolisian adalah menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bukan membiarkan hukum tumpul saat berhadapan dengan kelompok-kelompok yang punya kuasa atau “akses setoran.”
“Tim Joker” kini bukan sekadar simbol dari kelompok pelanggar hukum. Mereka adalah refleksi dari kegagalan negara hadir di tengah konflik sumber daya dan kerusakan lingkungan. Dan lebih buruk lagi, keberadaan mereka menunjukkan bahwa hukum kini harus menunduk di hadapan ekskavator yang dikuasai oleh kekuatan bayangan.
Masyarakat kini tak hanya menuntut penindakan, tetapi juga penebusan atas kekecewaan yang sudah terlalu lama mereka pendam. Jangan biarkan rasa hormat kepada penegak hukum berubah menjadi sinisme.
Jangan biarkan pohon-pohon tumbang, sungai tercemar, dan tanah leluhur dirusak, sementara aparat hanya menjadi penonton.
Pertanyaannya sederhana: berapa harga dari sebuah kehormatan? Jika harga diri penegak hukum bisa dibeli oleh tambang-tambang ilegal, maka mungkin sekali, hukum benar-benar sudah kehilangan wajahnya di Bumi Panua.
Karena ketika rakyat sudah menganggap hukum hanya sandiwara, maka kita telah kehilangan pijakan paling dasar sebagai bangsa yang berdaulat.