Oleh : ABDUL BASIT A. TUDA
Indopost.news – Opini. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dilahirkan dari semangat besar: membangun desa dari dalam, melalui potensi ekonomi lokal yang dikelola oleh warga sendiri.
Tujuannya mulia, regulasinya cukup kuat, dan dukungan dana dari pemerintah juga tidak main-main. Namun di balik semangat tersebut, realita di lapangan justru mulai menampakkan sisi kelamnya: BUMDes perlahan berubah fungsi menjadi ladang korupsi yang subur dan nyaris tanpa pengawasan.
Bukan tuduhan tanpa dasar. Laporan dari berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa banyak BUMDes yang gagal menjalankan fungsinya dengan baik.
Mulai dari unit usaha yang tidak jelas, laporan keuangan yang tidak pernah dibuka ke publik, aset-aset yang tidak diketahui keberadaannya, hingga kasus pengurus yang justru memanfaatkan BUMDes untuk kepentingan pribadi dan politik.
Pertanyaannya sekarang: apakah gejala ini juga terjadi di Kecamatan Popayato Timur?
Di Popayato Timur telah mencul beberapa sinyal, Ada BUMDes yang sejak dibentuk tidak pernah menjalankan usahanya secara aktif. Ada pula yang mengelola dana ratusan juta rupiah, namun tidak ada satu pun laporan keuangan yang bisa diakses publik.
Bahkan, dalam beberapa kasus, masyarakat desa sendiri tidak tahu apa sebenarnya usaha BUMDes mereka. Ironis, bukan? Badan usaha yang katanya “milik desa”, tapi justru tertutup dari warganya sendiri.
Popayato Timur terdiri dari beberapa desa yang masing-masing memiliki potensi luar biasa mulai dari sektor pertanian, perkebunan, hasil bumi, dan sektor jasa.
Jika dikelola dengan baik, BUMDes bisa menjadi tulang punggung ekonomi desa. Tapi jika dibiarkan berjalan tanpa arah, tanpa pengawasan, dan tanpa transparansi, maka bukan tidak mungkin BUMDes justru akan menjadi alat penguras uang negara.
Sudah saatnya dilakukan evaluasi menyeluruh. Bukan hanya evaluasi administratif di atas meja, tapi audit menyeluruh baik kinerja maupun keuangannya. Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Inspektorat Daerah harus berani membuka ruang kritik, memfasilitasi audit bersama, dan jika perlu, menggandeng lembaga independen agar hasil evaluasi benar-benar objektif. Masyarakat desa juga harus dilibatkan. Mereka punya hak untuk tahu, dan lebih dari itu, punya hak untuk menuntut pengelolaan yang jujur dan profesional.
Kita tidak boleh menunggu hingga satu per satu kasus korupsi terbongkar baru bergerak. Lebih baik mencegah daripada membiarkan luka membusuk. Jangan sampai BUMDes menjadi sumber ketidakpercayaan rakyat terhadap program-program pembangunan desa.
Evaluasi bukan berarti mencari-cari kesalahan. Evaluasi adalah bentuk cinta terhadap keberlanjutan desa. Dan jika memang terbukti banyak BUMDes yang stagnan atau bermasalah, jangan ragu untuk membubarkan dan membentuk ulang dengan sistem yang lebih baik.
Popayato Timur punya kesempatan untuk jadi contoh bukan hanya jadi catatan kaki dalam deretan kasus BUMDes bermasalah di Indonesia. Tapi untuk itu, kita harus jujur melihat realita, berani mengakui kelemahan, dan terbuka untuk memperbaiki. (Bersambung)
Selanjutnya : Mengungkap Deretan Bumdes Yang “Bermasalah” Di Popayato Timur.